permasalahan belajar anak tunarungu di sekolah inklusi


Pendengaran adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa dan sekaligus merupakan salah satu modal hidup bagi manusia karena dengan pendengaran inilah manusia akan mendapatkan berbagai hal, diantaranya dua hal penting yaitu berbahasa dan berkomunikasi. Orang dikatakan berbahasa apabila orang tersebut berkemapuan memahami dan menggunakan kode-kode atau seperangkat tanda yang disepakati bersama untuk mewakili apa yang ada dalam fikirannya. Sedangkan orang berkomunikasi artinya orang tersebut menggunakan bahasa kesepakatan kepada sesamanya untuk menyampaikan pikirannya. Kehilangan fungsi pendengaran sejak bayi terutama yang tuli sama sekali merupakan beban paling berat dirasakan dan sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan akademik dan sosial anak tunarungu.
Anak tunarungu memiliki karakteristik tertentu dalam aspek akademik, sosial-emosional, dan fisik. Anak tunarungu mengalami keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa, yang mengakibatkan anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya. Pergaulan anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional yaitu terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi. Sifat egosentris anak tunarungu melebihi anak normal, ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berfikir dan perasaan orang lain; sukar atau sulit menyesuaikan diri; serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan harus selalu dipenuhi. Anak tunarungu memiliki perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, sehingga mereka tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri. Oleh karena itu anak tunarungu membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya seperti semua anak tanpa terkecuali untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Selama beberapa dekade yang lalu, pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dalam sistem pendidikan bagi anak penyandang disabilitas. Sistem pendidikan tersebut adalah pendidikan segregasi, integrasi, maupun inklusi. Perubahan-perubahan ini termasuk perubahan dalam kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi, penggunaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini tidak hanya relevan bagi kepentingan dan pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi pengayaan semua yang terlibat; anak-anak (dengan atau tanpa kecacatan), keluarganya, guru-guru dan kepala sekolahnya, komunitas sekolahnya dan mungkin masyarakat secara keseluruhan. Konsekuensi yang paling penting dari perubahan-perubahan ini adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman. Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda.
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak tunarungu. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus
Sekolah inklusi merupakan terobosan pemerintah dalam 5 tahun terakhir ini, untuk memberikan pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler agar dapat berkembang secara optimal, namun pada kenyataannya masih banyak masalah yang muncul baik dari segi kultural, kebijakan, maupun teknis itu sendiri.
Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right and kemudahan access education, and againt discrimination. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. Selain itu kebijakan di sekolah inklusi masih memiliki beberapa permasalahan. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing anak berkebutuhan khusus, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait. Mereka juga Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar anak berkebutuhan khusus, serta keharusan orang tua anak berkebutuhan khusus dalam penyediaan guru khusus.
Permasalahan yang muncul dalam segi teknis proses pembelajaran inklusi juga bermacam-macam. Permasalahannya seperti dalam proses pembelajaran masih belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching dan tidak dilakukan secara terkoordinasi. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum anak berkebutuhan khusus sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar. Juga keterbatasan fasilitas sekolah, sehingga pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak. Belum adanya panduan yang jelas tentang system penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam. Masih terdapat persepsi bahwa system penilaian hasil belajar anak berkebutuhan khusus sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti. Selain masalah-masalah tersebut, sekolah inklusi pun belum didukung oleh kualitas guru yang memadai, jarangnya sekolah inklusi yang menyediakan guru pembimbing khusus, serta anggaran dana yang belum memadai.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "permasalahan belajar anak tunarungu di sekolah inklusi"

Post a Comment