PELAKSANAAN BINA WICARA INDIVIDUAL


PELAKSANAAN BINA WICARA INDIVIDUAL UNTUK
SISWA TUNARUNGU DI TKLB B-1 XX

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan bina wicara individual untuk siswa tunarungu di kelas TKLB B-1 XX. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Hasil temuan penelitian ini adalah: 1) Sekolah memodifikasi kurikulum bina wicara yang disediakan pemerintah untuk SLB khusus tunarungu tetapi hanya membuat target jumlah fonem yang harus dikuasai siswa pada tiap jenjang tanpa menentukan jenis fonem. 2) Guru menggunakan pendekatan individual, oral-aural, dan visual, auditori, kinestetis dan metode yang digunakan sekolah dalam mengajarkan wicara adalah metode suara. 3) Materi berdasarkan percakapan siswa yang muncul. 4) Proses bina wicara terangkum dalam ruang lingkup bina wicara, yaitu: pra wicara (latihan suara), membentuk fonem, membetulkan fonem, menggembleng fonem, mengembangkan fonem, wicara bersambung dan, latihan mendengar, dalam prosesnya tahapan-tahapan ini tidak harus selalu berurutan. 5) Guru melakukan beberapa tahapan dalam membentuk sebuah fonem dan tahapan tersebut bisa dilakukan secara acak tergantung kebutuhan dan tingkat pemahaman siswa. 6) Evaluasi perkembangan wicara siswa dilakukan tanpa adanya teknik khusus sedangkan evaluasi per semester dilakukan secara individual dengan bentuk dan pertanyaan yang sama pada tiap jenjang kelasnya.

Kata kunci: pelaksanaan bina wicara individual, siswa tunarungu



PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mampu hidup sendiri dan saling membutuhkan satu sama lain. Salah satu sifat sosial adalah terjalinnya komunikasi antara manusia dalam kehidupan. Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan terpenting bagi manusia karena dalam kehidupan sehari-hari manusia senantiasa terlibat dalam aktivitas komunikasi. Dengan adanya komunikasi, manusia dapat memahami antara satu dengan lainnya.

Manusia bisa berkomunikasi dengan dua cara, yaitu verbal dan non verbal. Komunikasi verbal disampaikan dengan bahasa verbal berupa kata-kata yang lazim digunakan dalam kehidupan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah bentuk komunikasi dengan cara isyarat bahasa yang bukan menggunakan kata-kata, seperti berisyarat, gerakan anggota tubuh, kontak mata, dan ekspresi wajah.

Komunikasi yang baik harus terjaga agar terjalin kehidupan yang harmonis pada seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali siswa tunarungu. Siswa yang mengalami ketunarunguan sejak lahir, akan berdampak pada gangguan pendengaran sehingga perkembangan bahasa tunarungu pun terhambat. Keterbatasan dalam berbahasa mengakibatkan siswa tunarungu cenderung memiliki kesulitan untuk berkomunikasi di masyarakat khususnya dengan komunikasi verbal. Layanan yang harus diberikan pada siswa tunarungu untuk mengembangkan kemampuan komunikasi verbal sejak dini adalah dengan bina wicara, karena dengan bina wicara siswa tunarungu mendapatkan pelatihan untuk mengembangkan kemampuan artikulasi agar kemampuan wicara siswa dapat lebih berkembang secara efektif.

SLB B XX adalah salah satu sekolah khusus tunarungu yang mendidik siswa tunarungu untuk dapat berkomunikasi secara verbal. Salah satu faktor utama dalam keberhasilan pendidikan komunikasi verbal di SLB B XX adalah dengan diberikannya layanan bina wicara. Kemampuan komunikasi verbal tunarungu yang baik merupakan hasil dari layanan bina wicara yang diberikan secara terprogram baik secara klasikal maupun individual. Layanan bina wicara individual baru didapatkan sejak siswa ketika memasuki jenjang Taman Kanak-kanak Luar Biasa bagian B-1 XX. Pada jenjang TKLB B-1 inilah sekolah mulai memberikan layanan bina wicara individual secara lebih terprogram kepada siswa.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti seperti apakah pelaksanaan bina wicara yang diberikan untuk siswa tunarungu di TKLB B-1 XX sehingga siswa tunarungu dapat berkomunikasi dengan baik. Melalui penelitian ini, peneliti berharap memperoleh informasi lebih mendalam dan gambaran yang lebih jelas, terperinci pada sebuah tulisan mengenai pelaksanaan bina wicara untuk anak tunarungu di TKLB B-1 XX.

Peneliti memfokuskan penelitian ini pada pelaksanaan latihan bina wicara individual untuk siswa tunarungu kelas TKLB B-1 XX, Jakarta. Dari fokus penelitian tersebut, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: (1) Program bina wicara kelas TKLB B-1 XX dalam latihan bina wicara, (2) Pendekatan dan metode yang digunakan TKLB B XX dalam latihan bina wicara, (3) Bentuk materi yang digunakan TKLB B XX dalam latihan bina wicara, (4) Media yang digunakan TKLB B XX dalam latihan bina wicara, (5) Proses latihan bina wicara individual kelas TKLB B-1 XX, (6) Bentuk evaluasi latihan bina wicara TKLB B XX.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan bina wicara individual untuk siswa tunarungu di kelas TKLB B-1 XX.



KAJIAN TEORI

Tunarungu berasal dari dua kata, yaitu “tuna” dan “rungu”. Tuna artinya kurang, dan rungu artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar. Tunarungu dapat diartikan sebagai keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya (Sutjihati Somantri T, 2006: 93).

Menurut Eisenson yang dikutip oleh Sadjaah dan Sukarja yaitu pemeriksaan dan pengobatan secara khusus terhadap penderita gangguan bahasa dan gangguan suara “Speech Teraphy is a therappheutic of speech voice and language” (Edja Sadjaah dan Darjo Sukarja, 1995: 140).



METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Lexy J Moleong, 2008: 6)

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru bina wicara TKLB B-1 XX sebagai sumber data primer dan kepala sekolah TLO dan TKLB B XX sebagai sumber data sekunder.

Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 12 bulan, yaitu mulai dari bulan Agustus 2011 sampai Juli  2012 dan dilakukan di TKLB B-1 XX, Jalan xxx

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data Miles and Huberman, yang mencakup reduksi data, penyajian data, kesimpulan dan verifikasi.



HASIL DAN PEMBAHASAN

Ada beberapa penemuan yang dapat diungkapkan dalam penelitian ini, yaitu: pertama, program bina wicara kelas 1 TKLB B XX dalam latihan bina wicara. Bina wicara memiliki standar kompetensi tersendiri yang telah disediakan pemerintah, akan tetapi sekolah memodifikasi standar kompetensi bina wicara yang disediakan pemerintah untuk SLB khusus tunarungu tersebut. Sekolah membuat target jumlah fonem yang harus dikuasai siswa pada tiap jenjangnya, yaitu 12 fonem pada tiap jenjang tanpa menentukan jenis fonem. Program tersebut dibuat dan dicantumkan dalam Rencana Pengembangan Program bina wicara yang dibuat pada tiap awal semester. Guru tidak diwajibkan untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran  setiap sebelum melaksanakan bina wicara individual siswa tunarungu sehingga latihan bina wicara terjadi dengan sangat situasional individual. Sebagai gantinya, guru wajib membuat laporan harian tiap siswa di buku bina wicara yang dimiliki tiap-tiap siswa tunarungu. Sekolah memprogramkan bina wicara 3 kali pertemuan dalam seminggu dengan alokasi waktu 20 menit per pertemuan.

Kedua, pendekatan dan metode yang digunakan TKLB B XX dalam latihan bina wicara. Guru menggunakan pendekatan individual, oral-aural, dan visual, auditori, kinestetis taktil (VAKT). Maksud dari pendekatan invidual adalah penanganan layanan bina wicara secara individu di ruang bina wicara, pendekatan oral aural yaitu pemanfaatan sisa-sisa pendengaran siswa tunarungu seperti penggunaan alat bantu dengar dalam proses kegiatan belajar mengajar klasikal maupun speech trainer yang difasilitasi sekolah untuk layanan bina wicara dan mengoptimalkan kemampuan wicara siswa tunarungu, sedangkan maksud dari pendekatan visual auditori kinestetik taktil (VAKT) adalah visual memaksimalkan indera pengelihatan dengan bantuan media cermin, auditori memaksimalkan indera pendengaran dengan bantuan speech trainer, kinestetik dan taktil memaksimalkan indera perasa dan peraba untuk merasakan perbedaan bentuk artikulasi dalam proses latihan bina wicara. Metode yang digunakan sekolah dalam mengajarkan wicara adalah metode suara, yaitu siswa dituntut untuk selalu menyuarakan perasaannya agar terbiasa untuk berbicara.

Ketiga, bentuk materi yang digunakan TKLB B XX dalam latihan bina wicara. Penentuan materi dilakukan saat latihan wicara berlangsung karena materi tersebut diambil berdasarkan percakapan siswa yang muncul sesuai dengan prinsip metode yang digunakan sekolah.

Keempat, Media yang digunakan TKLB B XX dalam latihan bina wicara. Sekolah menyediakan media yang sangat lengkap sehingga menunjang keberhasilan dalam melatih wicara siswa. media tersebut seperti : nasalitet, sounder /s/, spatel, pias kertas dan plosif, alat getar (vibrator), speech trainer set (yang terdiri dari amplifier, 2 buah mikrophone, 1 buah lampu aksen, 1 buah cermin, 2 buah lampu, 1 buah headphone). Selain alat tersebut guru juga menggunakan kamus, kertas kosa-kata, dan kertas visualisasi percakapan kelas sebagai media untuk bahan referensi dalam bina wicara siswa.

Kelima, proses latihan bina wicara individual kelas 1 TKLB B XX. Proses atau langkah-langkah dalam bina wicara ini terangkum dalam ruang lingkup bina wicara, yaitu: Pra wicara (latihan suara), membentuk fonem, membetulkan fonem, menggembleng fonem, mengembangkan fonem, wicara bersambung, dan latihan mendengar. Dalam prosesnya tahapan-tahapan ini tidak harus selalu berurutan. Sekolah mewajibkan seluruh siswa untuk menggunakan tulisan tegak bersambung. Siswa tunarungu diwajibkan untuk menulis tegak bersambung agar siswa dapat memahami bahwa dalam satu kata tersebut merupakan suatu kesatuan sehingga pengucapannya pun tidak terputus-putus.

Guru selalu memberikan reinforcement pada siswa sebagai penguatan baik reinforcement negatif maupun reinforcement positif. Guru juga memberikan pekerjaan rumah untuk dikerjakan pada hari libur siswa. Tugas tersebut harus dikerjakan dengan bantuan orangtua sehingga orangtua siswa dapat memperhatikan perkembangan kemampuan wicara anak.

Keenam, bentuk evaluasi latihan bina wicara TKLB B XX. Evaluasi perkembangan wicara siswa dilakukan dengan menuliskan di buku laporan yang dimiliki tiap siswa secara langsung tanpa adanya teknik khusus. Pada hari jum’at guru bina wicara wajib mengumpulkan buku laporan tersebut kepada guru pembina bina wicara yang nantinya akan diperiksa oleh guru pembina bina wicara tersebut. Evaluasi persemester dilakukan secara individual dengan bentuk dan pertanyaan yang sama pada tiap jenjang kelasnya. Penilaian tidak berpatokan dengan hasil tes ujian akhir semester siswa, melainkan akumulasi dari hasil evaluasi yang terdapat di buku laporan yang dibandingkan dengan hasil ujian akhir semester.

Pembahasan dalam penelitian ini diurutkan berdasarkan fokus permasalahan. Pertama, undang-undang sistem pendidikan nasional Bab X tentang kurikulum pasal 36 ayat 3 menyebutkan bahwa “kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; persatuan dan kesatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan (Zainal Arifin, 2011:. 22-23). Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa kurikulum harus disesuaikan dengan keragaman potensi yang siswa miliki. Keragaman kemampuan wicara siswa tunarungu menyebabkan sekolah tidak dapat menargetkan suatu program yang ditentukan secara baku. Oleh karena itu SLB B XX tidak menggunakan kurikulum bina wicara yang disediakan pemerintah. Sekolah membuat program bina wicara tersendiri dengan mengacu pada target minimal jumlah penguasaan fonem siswa tanpa adanya penentuan jenis fonem tersebut.

Kedua, pendekatan yang digunakan SLB B XX dalam latihan bina wicara adalah pendekatan individual, oral-aural, dan visual, auditori, kinestetis, taktil. Pendekatan individual digunakan karena sifat siswa tunarungu yang unik dan memiliki kemampuan yang berbeda antara satu dan lainnya sehingga tidak dapat disamaratakan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu dengan pendekatan individual ini siswa akan lebih terpegang dalam segala sikap dan perubahan perilakunya sehingga guru lebih mudah untuk mengawasi dan menilai keberhasilan program yang akan dicapai. Sesuai dengan perbedaan individual menurut Hamalik yaitu perbedaan individual dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari segi horizontal dan vertikal. Perbedaan dari segi horizontal setiap individu berbeda dengan individu lainnya dalam aspek mental, seperti :tingkat kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan, dan sebagainya dan perbedaan dari segi horizontal yaitu tidak ada dua individu yang sama dalam aspek jasmaniah, seperti bentuk tubuh, ukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh (Oemar Hamalik, 2007: 180).

Metode sangat berperan penting dalam pengajaran tak terkecuali dalam bina wicara. Menurut Sujana dalam buku Syarifudin dkk menjelaskan bahwa metode mengajar ialah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran (Syarifudin dkk, 2010: 123). Bina wicara individual untuk siswa tunarungu di TKLB B ini menggunakan metode suara, yaitu siswa dituntut untuk selalu menyuarakan perasaannya agar terbiasa untuk berbicara, jika hal tersebut dibandingkan dengan tujuan penggunaan metode tersebut maka metode yang digunakan TKLB B XX dalam bina wicara sudah sangat sesuai. Seperti yang diungkapkan oleh Syarifudin dkk tentang metode sebagai alat mencapai tujuan yaitu tujuan berfungsi sebagai pedoman yang dapat menentukan kemana kegiatan pembelajaran akan dibawa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Ketiga, materi pelajaran merupakan suatu yang disajikan guru untuk diolah dan kemudian dipahami oleh siswa, dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, yaitu: 1) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan/menunjang tercapainya tujuan instruksional, 2) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan/perkembangan siswa pada umumnya, 3) materi pelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan, 4) materi pelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual (Ibrahim dan Nana Syaodih, 2010: 100). Berdasarkan teori yang telah diungkapkan maka materi bina wicara yang ditentukan oleh guru wicara sudah sangat sesuai. Walaupun guru menentukan materi berdasarkan percakapan yang berasal dari siswa, tetapi guru mengambil materi tersebut disesuaikan dengan tujuan instruksional dan perkembangan kemampuan siswa tunarungu itu sendiri. Hal ini juga sesuai dengan Hamalik yang mengungkapkan bahwa bahan pengajaran bukan semata-mata berarti semua uraian yang tertera dalam buku sumber atau sumber cetak lainnya, melainkan memiliki klasifikasi tertentu. Berdasarkan klasifikasi itulah kemudian guru memilih bahan yang mana yang akan disajikan dalam perencanaan untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebelumnya (Oemar Hamalik, 2005: 139).

Keempat, media merupakan salah satu aspek terpenting dalam menunjang keberhasilan siswa dalam bina wicara. Djamarah dan Zain mengungkapkan bahwa media adalah sumber belajar, maka secara luas media diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006: 136). Penyediaan sekolah akan media untuk bina wicara sudah terbilang lengkap. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor keberhasilan guru dalam meningkatkan atau mengembangkan kemampuan wicara siswa tunarungu.

Kelima, Proses latihan bina wicara individual kelas TKLB B-1 XX. Ketika proses latihan bina wicara berlangsung, guru wicara selalu memberikan reinforcement kepada siswa untuk memotivasi siswa agar mengembangkan kemampuan wicara mereka lebih baik lagi. Menurut Donald yang dikutip oleh Hamalik motovasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan (Oemar Hamalik, 2008: 158). Jika merujuk pada teori tersebut maka guru wicara cukup berhasil karena siswa memiliki perubahan kearah yang lebih positif setelah diberikan reinforcement tersebut. Siswa lebih bersemangat dalam bina wicara ketika guru memberikan reinforcement positif walaupun hanya dalam bentuk pemberian jempol dan senyuman dan siswa juga terpacu untuk berusaha agar lebih baik ketika mendapatka reinforcement negatif.

Keenam, evaluasi adalah proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan/atau pengukuran hasil belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 200). Pada pelaksanaan bina wicara berlangsung, guru wicara melakukan penilaian atau evaluasi hasil wicara siswa secara langsung dengan menuliskannya di buku laporan yang dimiliki oleh tiap siswa. Sedangkan secara garis besar dalam proses belajar mengajar, evaluasi memiliki fungsi pokok sebagai berikut : 1) untuk mengukur kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar mengajar selama jangka waktu tertentu, 2) untuk mengukur sampai di mana keberhasilan sistem pengajaran yang digunakan, 3) sebagai bahan pertimbangan dalam rangka melakukan perbaikan proses belajar mengajar (Harjanto, 2008: .277-278). Berdasarkan teori fungsi pokok evaluasi seperti yang telah diungkapkan tersebut maka fungsi pokok evaluasi bina wicara individual untuk siswa tunarungu telah sesuai dengan tujuan guru dalam mengevaluasi hasil kemampuan wicara siswa.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PELAKSANAAN BINA WICARA INDIVIDUAL"

Post a Comment