Pendidikan Anak Tunarungu

Van Uden, seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda, mengatakan bahwa anak tunarungu yang ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi diajak dan dilatih untuk berkomunikasi seperti bayi yang mendengar, akan terhindar dari ketinggalan perkembangan bahasanya yang amat jauh dari anak dengar seusianya . Program pengajaran bahasa anak tunarungu sebelumnya, terlalu banyak memberi penekanan terhadap penguasaan isi dan bentuk ungkapan bahasa yang tepat tanpa memberikannya alasan untuk mengatakannya. Sedangkan fungsi bahasa hanya akan dapat dikuasai anak bila ia berada dalam situasi yang berarti dan sejati yaitu dengan melibatkannya dalam suatu kegiatan berkomunikasi dengan orang lain yang tanggap.
Sistem pendidikan formal bagi anak tunarungu adalah pendidikan integrasi, segregasi, dan inklusi. Sistem pendidikan segregasi atau khusus dapat dikatakan sebagai pendidikan bagi orang yang berkebutuhan khusus dan menyandang kecacatan. Melalui sistem ini penyelenggaraan pendidikan anak tunarungu dilaksanakan secara terpisah dengan anak mendengar . Hal ini didasarkan pada adanya kekhawatiran dan keraguan terhadap kemampuan anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar, mereka memerlukan metode pembelajaran khusus akibat kelainan fungsi pendengaran. Sistem ini juga didasarkan atas pengakuan prinsip bahwa sekolah seyogyanya mengakomodasi anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi lainnya.
Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus.
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika dilihat dari beberapa sisi yang lain sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan siswa tunarungu. Siswa tunarungu akan kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari Sekolah Khusus untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendidikan Anak Tunarungu"

Post a Comment